Hukum Khilafah

Hukum Khilafah
Hukum Khilafah
Mengenai hukum Khilâfah/Imâmah, hampir seluruh ulama’ mengatakan wajib[1], tidak ada yang menolak wajibnya Khilâfah kecuali an-Najadât dari kalangan al-Khawârij, serta al-Fûthî[2] dan al-Ashomm[3] dari kalangan Mu’tazilah[4]. Berikut perkataan Imam al-Qurthubî dalam tafsirnya tentang madzhab al-Ashomm:

« لا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا… الأصم وكذلك كل من قال بقوله وأتبعه على رأيه ومذهبه قال واجبة في الدين بل يسوغ ذلك وأن الأمة متى أقاموا حجهم وجهادهم وتناصفوا فيما بينهم وبذلوا الحق من أنفسهم وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها وأقاموا الحدود على من وجبت عليه أجزأهم ذلك ولا يجب عليهم أن ينصبوا إماما »

“Tidak ada pertentangan di kalangan Umat Islam dan para Imam/Ulama (di masa itu) kecuali … Ashom dan siapa saja yang menjadi pengikutnya, dan mengikuti pendapatnya. Madzhabnya berpendapat: (Khilâfah) wajib dalam agama, bahkan (Khilâfah)-lah yang mewujudkannya[5]. (Namun), selama ummat mampu menyelenggarakan Haji, menyelenggarakan Jihâd, bisa saling berbagi antar sesama, melaksanakan kebenaran, bisa membagikan Ghanîmah, Fai’ dan Shadâqah kepada yang berhak menerimanya, menegakkah Hudûd (hukum-hukum Allah) atas siapa saja yang wajib menanggungnya, maka tidak wajib bagi mereka (kaum muslimîn) mengangkat Imâm/Khalîfah.”[6]

Dari apa yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubî di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa al-Ashomm tidak mewajibkan Khilâfah dengan syarat Umat masih mampu menyelenggarakan ibadah Haji, menyelenggarakan Jihad, bisa saling berbagi antar sesama, melaksanakan kebenaran, bisa membagikan ghanîmah, fai’ dan sedekah kepada yang berhak menerimanya, menegakkah hudûd (hukum-hukum Allah) atas siapa yang wajib menerimanya.

Jika kita lihat realita di tengah-tangah umat saat ini, maka kita akan dapati hukum-hukum Allah SWT yang belum ditegakkan, dan pembagian harta yang tidak jelas, sehingga mereka yang sependapat dengan al-Ashomm, untuk saat ini secara otomatis juga mewajibkan pengangkatan seorang Khalîfah dan menegakkan Khilâfah.

Sebenarnya kalangan Khawârij dan Muktazilah pun pada umumnya mewajibkan ditegakkannya Khilâfah, ada pun an-Najadât, al-Ashamm dan al-Fûthî adalah “salah tiga” dari ulama mereka yang "kebetulan" tidak mewajibkan. Sedangkan ‘Ulamâ’ Ahlussunnah semuanya satu suara Mewajibkan Khilâfah. Berikut perkataan Imam Ibnu Hazm:

« اتفق جميع أهل السنة ، وجميع المرجئة ، وجميع الشيعة ، وجميع الخوارج على وجوب الإمامة ، وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل ، يقيم فيهم أحكام الله ، ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله حاشا النجدات من الخوارج »

“Semua Ahlussunnah, Murji’ah, Syî’ah dan Khawarij sepakat atas wajibnya Imâmah, dan wajib bagi umat Islam untuk mengangkat seorang Imam Adil, yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah mereka, mengurus mereka dengan Syarî’ah yang dibawa Rasulullah SAW, kecuali an-Najadât dari kalangan Khawârij.” [7]

Demikianlah “Mafhûm” para ulama tentang Khilâfah, sampai-sampai karena begitu jelasnya hukum Khilâfah tersebut Imam asy-Syâfi'î tidak membahas secara khusus akan diwajibkannya Khilâfah dalam kitab fiqhnya, namun pandangan beliau tentang wajibnya Khilâfah tergambar pada pendapat-pendapat beliau dalam masalah-masalah fiqhiyyah tertentu, misalnya ketika beliau menerangkan kedudukan Khalîfah dalam Imamah Shalat, beliau berkata:

« وإن دخل الخليفة بلدا لا يليه وبالبلد وال غيره فالخليفة أولى بالصلاة لان واليه إنما ولى بسببه وكذلك إن دخل بلدا تغلب عليه رجل فالخليفة أولى فإن لم يكن خليفة فالوالى بالبلد أولى بالصلاة فيه فإن جاوز إلى بلد غيره لا ولاية له به فهو وغيره سواء »

"Jika seorang Khalîfah memasuki sebuah negeri yang dia tidak memerintahnya (secara langsung), sedangkan di negeri itu terdapat Wâlî selain dia, maka Khalîfah itu lebih utama (menjadi Imam) shalat di negeri itu, karena keberadaan Wâlî di negeri tersebut adalah kewenangan/ketetapannya (Khalîfah), begitu juga jika dia (Khalîfah) memasuki negeri yang lebih dipengaruhi oleh seseorang[8], maka Khalîfah lebih utama, jika tidak ada Khalîfah maka Wâli di negeri tersebut yang lebih utama (menjadi imam) dalam Shalat, dan jika dia (Khalîfah) masuk ke negeri orang lain yang tidak berada di bawah kekuasaannya, maka dia dan selain dia adalah sama (dalam hal hak mengimami shalat)." [9]

Demikian pula Imam Ibnu Rusyd, pandangan beliau tentang wajibnya Khilâfah tergambar jelas ketika menerangkan masalah perhakiman, beliau berkata:

« ولا خلا ف في جوازحكم الامام الاعظم، وتوليته للقاضي شرط في صحة قضائه،

لا خلاف أعرف فيه »

"Tidak ada perbedaan (di kalangan Ulama’) dalam hal sahnya hukum (yang diputuskan oleh) al-Imâm al-A'dham (al-Khalîfah), dan pemberian kewenangan olehnya kepada seorang qadlî (hakim), merupakan syarat syahnya perhakimannya, tidak ada perbedaan pendapat yang aku ketahui dalam hal tersebut."[10] Dari ungkapan dua Ulama’ (dari dua generasi yang berbeda) di atas kita bisa pahami, bahwa keberadaan Khalîfah adalah suatu keniscayaan dan kelaziman bagi kaum muslimin, dia berperan sebagai Imam tertinggi kaum muslimin yang berkewajiban memimpin mereka (dalam urusan akhirat dan dunia), dan penetapan hukum oleh hakim yang tidak mendapat rekomendasi darinya adalah bâthil (batal) atau tidak sah, sebagaimana tidak sahnya wali (semacam gubernur) yang tidak ditetapkan olehnya. Demikianlah pemahaman tentang Khilâfah dan serba-serbinya oleh ulama’ Ahlussunnah wal Jamâ’ah yang diwakili oleh Imâm asy-Syâfi’î dan Imâm Ibnu Rusyd di atas. [Al Khilafah: Mutiara yang Terlalu Lama Terpendam, al-Watsiq bil-Haqq/Jikindra Blog]

=== Catatan Kaki ===
[1] Sulaiman bin Amr, Hâsyiyah al-Bujairimî, Juz 4 hal. 204. Sebagai contoh perkataan para ulama’ yang dengan tegas menyatakan wajibnya Khilâfah/Imâmah, silahkan lihat: Imam an-Nawawî, Roudlatuth-Thâlibin, Juz 3 hal. 433, Ibnu Khaldûn, al-Muqaddimah, hal. 132, Abu Yahya Zakariyya al-Anshorî, Fathul wahhâb, Juz 2 hal. 268, Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-Andalusî Adz-Dzahirî, Marâtibu al-Ijmâ’, juz 1 hal 124, Imam al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, Juz 1 hal. 3, Imam Abu Hamid al-Ghozâlî, al-Wasîth, Juz 7 hal. 287, Imam Abu Hamid al-Ghozâlî, al-Iqtishâd fil-I’tiqâd, Juz 1 hal. 75, Abdul Hamid asy-Syarwanî, Hawâsyî asy-Syarwânî, Juz 9 hal. 74, Ibnu al-Jauzî, Asnâ al-Mathâlib, Juz 19 hal. 347, Imam Abu Abdillah al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, Juz 1 hal 264, Hâsyiyyatu Qalyûbî wa ‘Umairah, Juz 15 hal. 102, Umar bin Ali al-Andalûsî, Tuhfatu al-Muhtâj fî syarihil minhâj, Juz 38 hal. 184, Muhammad al-Khâthib asy-Syarbiniy, Mughni al-Muhtâj Ilâ Ma’rifati Alfâdzi al-Minhâj, Juz 16 hal. 187, Nihâyatu al-Muhtâj ilâ Syarhi al-Minhâj, Juz 25 hal. 414, Abu Fidâ’ Isma’îl Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, juz 1 hal. 221, Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad An-Naisaburî Asy-Syâfi’î, Tafsîr An-Naisaburî, juz 5 hal 465, Hâsyiyatu al-Jumal, Juz 21 hal. 42, Abu ath-Thayyib, ‘Aunu al-ma’bûd, Juz 8 hal. 112, Hâsyiyatu al-Bujairimî ‘alâ al-Minhâj, Juz 15 hal. 66, Hâsyiyatu al-Bujairimî ‘alâ al-Khâthib, Juz 12 hal. 393, Muhammad asy-Syarbinî al-Khâthib, al-Iqnâ’ li asy-Syarbinî, Juz 2 hal. 550, Ibrâhim bin Ali al-Fairuz Abadî asy-Syairazî, at-Tanbîh, Juz 1 hal. 248, ‘Alauddin Al-Kassanî Al-hanafî, Badâ’iush Shanâi’ fî Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406, Abu Ya’lâ al-Farrâ’, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 19, Asy-Syahrastanî, Nihâyatu al-Iqdâm fî ‘Ilmi al-kalâm, Juz 1 hal. 172, Ibnu Quddâmah, al-Mughnî, Juz 10 hal. 89, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqî, Sya’bu al-Îmân, Juz 6 hal. 6, Umar bin Ali bin Adil Al-hambalî Ad-dimasyqi, Tafsîrul Lubab fî ‘Ulûmil Kitâb, juz 1 hal 204, Umar bin Ali bin Adil al-Hambalî ad-Damsyiqî, Tafsir Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, juz 1 hal. 204, Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawiy al-Hambalî, al-Inshâf fî Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilâf ‘alâ Madzhabi al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz 16 hal 60 dan 459, Mansur bin Yunus bin Idrîs al-Bahutî al-Hanafî, Kasyfu al-Qinâ’ fî Matni al-Iqnâ’, juz 21 hal. 61, Musthafa bin Sa’ad bin Abduh as-Suyûthî al-Hambalî, Mathâlibu Ulin-Nuhâ fî Syarhi Ghâyati al-Muntahâ, juz 18 hal 381, Imam Fakhruddin Ar-razî, Mafâtihu al-Ghâib fî At-Tafsîr, juz 6 hal. 57 dan 233, Sayyid Husain Afandi, al-Husun al-Hâmidiyyah lî al-Muhâfadzah ‘alâ al-‘Aqâ’id al-Islâmiyyah, hal 189, dan masih banyak lagi.
[2] Yaitu Hisyam bin ‘Amr al-Fuuthî dari Bashrah, Lihat Thabaqat al-Mu’tazilah, hal. 69
[3] Yaitu Abu Bakar Abdurrahman bin Kaisanî al-Ashamm, salah satu tokoh muktazilah, lihat Firaq wa Thabâqat al-Mu’tazilah, hal 65
[4] Abdullâh bin ‘Umar bin Sulaimân Ad-Dumaijî, al-Imâmah al-‘Udhmâ ‘Inda Ahli as-Sunnah wal-Jamâ’ah, hal. 45
[5] Maksudnya mewujudkan keberlangsungan agama dengan sempurna.
[6] Imam al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, Juz 1 hal. 264
[7] Abdullâh bin ‘Umar bin Sulaimân Ad-Dumaijî, Al-Imâmah al-‘Udhmâ ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 27, Lihat juga Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wan Nihal, juz 4 hal. 87
[8] Semacam kasus yang terjadi di masa Khalîfah Ali bin Abi Thâlib r.a., dimana saat itu Mu’âwiyah r.a. memiliki pengaruh besar di Madinah.
[9] Imam asy-Syâfi'î, Al-Umm, juz 1 hal. 183
[10] Ibnu Rusyd, Bidâyatu al-Mujtahid wa Nihâyatu al-Muqtashid, juz 2 hal. 378

Speak Up Your Mind!
Tell us what you're thinking!

Terima kasih sudah berkomentar

About

Blog for Syariah and Khilafah. Berbagi catatan sederhana sebagai bentuk dukungan terhadap penjuangan penegakan Syariah dan Khilafah dan penolakan terhadap sistem kufur demokrasi.
Temukan Saya di Google+

Entri Baru