Tegaknya Negara Islam Harus Dimulai dari Individu Baru ke Negara?

Tegaknya Negara Islam Harus Dimulai dari Individu Baru ke Negara?
Tegaknya Negara Islam Harus Dimulai dari Individu Baru ke Negara?
Ada yang menyatakan bahwa perubahan negara itu harus dimulai dari individu, keluarga, masyarakat, baru negara. Apakah benar harus seperti ini?

Komentar:

Ini sebenarnya berangkat dari pemikiran yang kurang mendalam (kalau tidak mau dikatakan dangkal). Pemikiran seperti ini seolah-olah terlalu menyederhanakan masalah. Menyederhanakan masalah bagaimana maksudnya? Ya, lihat saja, individu berubah dulu, jika individu sudah berubah, kemudian individu itu akan mengajak orang lain, dan orang lain itu akan mengajak orang lain lagi hingga akhirnya seluruh orang menjadi baik (Islami). Seolah-olah persoalannya “sesederhana” ini. Parahnya lagi, pendapat seperti ini seringkali hanya menonjolkan aspek akhlak. Jika masing-masing individu akhlaknya baik, maka negara pun akan menjadi baik. Demikian asumsi ini dibangun.

Sesungguhnya, asumsi bahwa masyarakat itu tersusun dari individu, dan perubahan masyarakat tergantung dari individunya, adalah asumsi yang salah. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun oleh individu, akan tetapi juga disusun oleh pemikiran, perasaan, dan aturan yang mengikat individu-individu tersebut. Bahkan, ketiga hal inilah yang akan menentukan perubahan masyarakat, bukan individunya. Lebih dari itu, perubahan perilaku individu juga ditentukan oleh perubahan pemikiran dan perasaannya.

Ketika Allah swt. menciptakan manusia, ternyata Allah juga menciptakan naluri-naluri bagi manusia. Allah juga menciptakan kebutuhan biologis untuk manusia. Kebutuhan biologis ini meliputi kebutuhan makan, minum, tidur, buang air, istirahat, dan sebagainya. Selain itu, Allah swt. juga menciptakan al-idraak (kemampuan manusia untuk mengambil kesimpulan atas fakta terindera berdasarkan informasi awal yang dimiliki).

Manusia suka terhadap lawan jenis, mencintai anak, menghormati orang tua, ini adalah efek dari adanya naluri seksual. Perwujudan naluri tersebut terdapat pada hubungan pria dan wanita, serta orang tua dan anak. Naluri ini disebut dengan gharizatun nau’.

Ada juga naluri mempertahankan eksistensi diri seperti orang Jawa yang cinta terhadap suku Jawa, seseorang mencintai tanah airnya, seseorang cinta akan kekuasaan, marah jika dituduh atau difitnah, membela diri ketika berhadapan dengan perampok, merasa senang ketika dipuji, dan sebagainya. Perwujudan naluri ini terdapat pada hubungan antara individu-individu. Naluri ini disebut dengan gharizatul baqa’. Gharizatul baqa’ mendorong manusia saling menolong dengan yang lain, karena rasa takut kehilangan keberadaannya dari bahaya, takut terhadap gangguan, seperti adanya rasa takut terhadap bahaya binatang buas, jurang yang dalam, gangguan manusia, dan lain sebagainya. Itu semua ditanggulangi dengan cara membangun rumah, dinding-dinding penghalang yang semuanya membutuhkan bantuan bantuan dari yang lain, karena manusia secara individu tidak bisa melakukan sendiri, inilah yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan yang lain karena adanya kebutuhan yang mendesak di dalam hidupnya.

Manusia juga diberikan Allah naluri mengkultuskan sesuatu, menuhankan sesuatu, atau naluri untuk mengagungkan sesuatu. Naluri ini disebut gharizatud tadayyun, yakni adanya perasaan kurang, lemah dan membutuhkan akan “sesuatu yang memiliki kekuatan dahsyat”, yang dengannya manusia merasa tenang dan tenteram. Maka manusia melakukan pengkultusan terhadap gunung, matahari, dewa, kuburan, benda-benda pusaka, dan lain sebagainya.

Manusia terdorong melakukan berbagai hal di atas karena adanya dorongan naluri dan kebutuhan biologis yang ternyata membutuhkan interaksi dengan manusia yang lain. Oleh karena itu, diciptakanlah “hubungan yang bermacam-macam” di antara manusia. Hal ini dilakukan agar mereka bisa mempersiapkan dirinya di dalam pemenuhan naluri dan kebutuhan biologis.

Dengan demikian, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus hidup bersama manusia yang lain untuk bisa menjaga kelangsungan hidup mereka. Dari individu-individu manusia inilah kemudian akan terbentuk masyarakat. Masyarakat ini terbentuk dari individu-individu dan mempunyai hubungan-hubungan yang sifatnya tabiat/alami sebagai hasil dari dorongan-dorongan pemenuhan dorongan naluri dan kebutuhan biologis masing-masing individu.

Namun pemenuhan naluri dan kebutuhan biologis manusia harus dipenuhi dengan aturan yang benar. Pemenuhan naluri dan dorongan biologis ini tidak boleh tanpa aturan, sebab akan bisa membawa pada kekacauan dan anarkisme.

Dalam memenuhi berbagai dorongan-dorongan tadi manusia memanfaatkan idraak (akal) dan perasaan-perasaan yang ada pada dirinya. Jika pemikiran dan perasaan yang ada diatur dengan sistematis, maka akan terbentuk sebuah nizham (aturan).

Inilah penjelasan atau deskripsi yang jelas tentang interaksi yang dilakukannya.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka sesungguhnya sebuah masyarakat itu terbentuk atas empat unsur, yaitu sebagai berikut.
  • Individu-individu yang hidup bersama (al afrad).
  • Pemikiran-pemikiran (al afkaar).
  • Perasaan kolektif (masyaa’ir).
  • Aturan yang ditetapkan pemikiran dan pengaturan hubungan-hubungan (nizham).

Sebuah masyarakat tidak akan berubah sebelum pemikiran, perasaan dan aturan yang tumbuh di dalamnya berubah. Jika pembicaraan kita adalah perubahan menuju masyarakat Islam, maka masyarakat kufur tidak akan berubah menjadi masyarakat Islam sebelum pemikiran dan aturan yang diterapkan berubah menjadi pemikiran dan aturan Islam. Meski pun individu-individunya seluruhnya beragama Islam, namun selama aturan yang diterapkan di dalamnya bukan aturan Islam, maka masyarakat itu tetap disebut masyarakat kufur. Dengan kata lain, sekali pun masyarakatnya sudah berakhlak baik semua, sudah menjalankan salat tahajjud semua, sudah terbiasa puasa senin kamis semua, semua celana kaum muslim tidak lagi isbal, tidak ada yang berbuat bid’ah, tetap tidak bisa disebut masyarakat Islam, selama masih menerapkan hukum di luar Islam, misalnya leasing, bekerja sama dengan kafir harbi, melegalkan liberalisme ekonomi, dan sebagainya.

Bahkan, meski pun seluruh individunya memahami Islam dan tergerak untuk mengubah sistem tersebut, namun selama sistem aturannya tidak berubah, maka masyarakat di dalamnya tidak bisa disebut sebagai masyarakat Islam. Sebaliknya, walaupun mayoritas individu yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah kafir, akan tetapi selama aturan yang diberlakukan dan keamanan di negeri itu dijamin oleh kaum muslim, maka masyarakat itu tetap disebut sebagai masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan aturan dan pemikiran yang ada di dalamnya.


Jadi, perubahan masyarakat harus dilakukan dengan cara mengubah sistem aturan dan pemikiran mendasar yang dijadikan landasan oleh masyarakat tersebut. Di sisi yang lain, sebuah gerakan maupun partai tidak akan mampu mengubah setiap individu yang ada di tengah-tengah masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.

Keadaan ini semakin memperkuat bahwa perubahan masyarakat tidak disandarkan pada perubahan individu-individunya, akan tetapi pada sistem aturan yang diberlakukan.

Benar, Rasulullah Saw berdakwah seorang diri, kemudian menghubungi para shahabat satu persatu. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa dakwah yang ditujukan oleh Rasulullah Saw adalah dakwah yang ditujukan untuk hanya mengubah individu-individunya saja, sehingga jika individu ini berubah maka keluarga dan masyarakat pun juga akan berubah. Bukan seperti itu cara memahaminya.

Sesungguhnya, individu-individu ini dipersiapkan oleh Rasulullah Saw untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat dengan jalan menyerang seluruh pemikiran, keyakinan dan aturan-aturan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jadi, watak perubahan yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada para kadernya adalah perubahan yang bersifat sistemik, bukan individual.

Di samping itu, Rasulullah Saw. juga mengutus para shahabat untuk menghubungi para pemimpin kabilah (sebagai representasi dari kekuatan masyarakat) dan menggalang dukungan dari mereka. Rasulullah Saw juga melakukan thalabun nushrah kepada para pemimpin kabilah Arab untuk diminta kekuasaannya. Kenyataan ini semakin membuktikan bahwa dakwah untuk mengubah masyarakat kufur tidak dilakukan dengan konsen pada perubahan individunya belaka. Lebih dari itu, perubahan masyarakat harus dilakukan dengan cara mengubah sistem aturan yang ada di dalamnya sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sedangkan dakwah Rasulullah Saw, jelas-jelas menunjukkan bahwa beliau melakukan perubahan masyarakat dengan cara mengubah pemikiran, dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan cara mendirikan kekuasaan Islam.

Baca juga: KhilafahTidak Perlu Diperjuangkan Karena Semata-mata Merupakan Janji Allah?

Sebuah kesalahan jika dakwah Rasulullah saw difokuskan hanya untuk mengubah individu, sehingga secara OTOMATIS ada perubahan keluarga dan masyarakat. Dakwah Rasulullah Saw tidak seperti itu. Dakwah beliau tetap konsen untuk menyerang pemikiran, aturan, keyakinan dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Sebab, pemikiran dan aturan adalah faktor utama penyusun masyarakat sekaligus penentu corak dari sebuah masyarakat. Mendidik individu iya, memang iya. Tapi tidak sekedar seperti itu. Melainkan, individu dididik agar individu itu menjadi individu yang berkepribadian Islami yang akan mengubah pemikiran masyarakat, perasaan yang mengikat mereka, dan aturan yang diterapkan di tengah-tengah mereka. Wallahu a’lam. [Agus Trisa/Jikindra Blog]

1 komentar:

Benar Mas ya.. kalau mau tegak dimulai dari diri sendiri.. sholat jama'ah di masjid, amal sholeh dsb.
pun kata ustad masuk kaki kiri ke toilet sambil baca doa termasuk syariat Islam..
hal-hal kecil kayak gitu bisa membawa diri kita ke hal-hal yang besar ya Mas..

Speak Up Your Mind!
Tell us what you're thinking!

Terima kasih sudah berkomentar

About

Blog for Syariah and Khilafah. Berbagi catatan sederhana sebagai bentuk dukungan terhadap penjuangan penegakan Syariah dan Khilafah dan penolakan terhadap sistem kufur demokrasi.
Temukan Saya di Google+

Entri Baru