Urgensitas Khilafah

Urgensitas Khilafah
Urgensitas Khilafah
Benar, para sahabat Nabi SAW serta para ulama’ terdahulu menggolongkan perkara Khilâfah ini sebagai perkara yang sangat penting dan mendesak, dan menganggapnya sebagai kewajiban yang sangat besar. Bagaimana tidak, para sahabat menangguhkan pemakaman jenazah Nabi SAW setelah beliau wafat (yang hukumnya jelas Fardhu Kifâyah) hanya untuk memilih pengganti posisi beliau sebagai pimpinan umum kaum muslimin (bukan posisi beliau sebagai Rasulullah), dan akhirnya terpilihlah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalîfah pengganti Rasulullah SAW.[1]

Sebagaian umat Islam yang tidak mengerti telah berprasangka buruk terhadap apa yang telah dilakukan oleh para sahabat tersebut, mereka menganggap para sahabat dengan tamaknya telah memperebutkan tahta kekuasaan atas umat Islam sepeninggal Rasulnya, pemahaman yang demikian ini adalah salah besar! dan fitnah yang amat keji!. Para sahabat adalah orang-orang paling paham tentang seluk-beluk Islam, mereka adalah orang-orang pilihan, hasil didikan Rasulullah SAW yang sudah bertahun-tahun hidup bersama beliau. Mereka tahu sepeninggal Rasulullah SAW harus ada orang yang menggantikan beliau dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia dengannya, menjalankan hukum-hukum Allah SWT, mencegah dan menindak kedzaliman, serta menyebarkan Risâlah Islam keseluruh penjuru dunia yang mustahil hal itu semua hanya dilakukan oleh individu.

Hukum Qishâsh harus selalu tegak. Karena selain merupakan perintah Allah SWT[2], mereka tahu betapa mahalnya harga nyawa seorang muslim, sehingga harus ada yang menjamin jiwa setiap muslim kapan dan dimana pun mereka berada, itu karena para sahabat pernah mendengar sabda Rasulullah SAW:

« لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ »

“Sungguh binasanya bumi ini lebih remeh di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang muslim”.[3]

Para sahabat juga tahu dan paham betul betapa darah dan harta kaum muslimin adalah hal yang juga sangat berharga sehingga harus ada yang menjaga dan menjamin keamanannya, mereka pernah mendengar khutbah Nabi SAW:
« أيها الناس إن دماءكم وأموالكم عليكم حرام إلى أن تلقوا ربكم »

“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram bagi kalian hingga kalian berjumpa Tuhan kalian kelak”.[4]

Mereka juga pernah mendengar Sabda Rasulullah SAW:

« إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُقِيمُونَ الْحَدَّ عَلَى الْوَضِيعِ وَيَتْرُكُونَ الشَّرِيفَ،
 وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ فَعَلَتْ ذَلِكَ لَقَطَعْتُ يَدَهَا »
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena mereka menerapkan hukum atas orang miskin tapi tidak untuk orang kaya, Demi Dzât yang nyawaku ada di tanganNya, seandainya Fâtimah (binti Muhammad) melakukan itu (mencuri), niscaya sudah aku potong tangannya”.[5]

Dan masih banyak lagi hukum-hukum lainnya yang tidak boleh ada jeda dalam pelaksanaannya, sehingga keberadaan Khilâfah (sebagai metode dalam menegakkan hukum-hukum tersebut) pun juga demikian, kaum muslimin tidak boleh ada jeda dari keberadaannya. Karena itulah para sahabat menyegerakan urusan Khilâfah ini.

Tidak jauh berbeda dengan generasi sahabat, para Ulama’ terdahulu pun juga menganggap begitu pentingnya perkara Khilâfah ini, sehingga Imam al-Ghozalî, penulis kitab ternama Ihyâ’ Ulumi ad-Dîn, memasukkan perkara Khilâfah dalam kitab beliau yang membahas akidah, yaitu al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd. Dalam kitab tersebut beliau mengatakan:

« أن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا »

“Bahwa sistem/aturan agama tidak akan dapat dicapai (dengan sempurna) tanpa sistem/aturan dunia (institusi pemerintahan/negara)”

Tentunya yang dimaksud di situ adalah: “Keinginan menerapkan Islam secara sempurna menuntut umat Islam untuk menerapkannya sebagai sistem pemerintahan negara”, Lebih lanjut beliau juga menyampaikan:

« الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع »

“Agama laksana pondasi dan kekuasaan (negara) laksana penjaga, setiap yang tidak berpondasi akan runtuh, dan setiap yang tidak berpenjaga akan hilang”. [6]

Lebih dari pada itu dalam karyanya yang lain, kitab al-Wasîth, beliau mengatakan:

« القضاء والقيام بمصالح المسلمين والإنتصاف للمظلومين من أفضل القربات وهو من فروض الكفايات وهو أفضل من الجهاد وأهم منه لأن الجهاد لطلب الزيادة والقضاء لحفظ الموجود »
“al-Qadlâ’ (perhakiman), menegakkan urusan-urusan kaum muslimin dan menyelamatkan orang-orang yang terzalimi adalah sarana paling utama dalam mendekatkan diri kepada Allâh, semua itu termasuk di antara hal-hal yang hukumnya Fardhu Kifâyah, dia lebih utama dan lebih urgen dari pada Jihâd, karena Jihâd adalah metode untuk mencari tambahan (kaum muslimin) sedangkan al-Qadlâ’ merupakan metode untuk menjaga (kaum muslimîn) yang sudah ada”.[7]

Sikap serupa juga tercermin dari perkataan Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya:

« وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما اختلفوا فيه ويقطع تنازعهم وينتصر لمظلومهم من ظالمهم ويقيم الحدود ويزجر عن تعاطي الفواحش ذلك من الامور المهمة التي لا تمكن إقامتها إلا بالإمام وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب »

“Kewajiban mengangkat seorang Khalîfah (yaitu) untuk melerai perbedaan diantara manusia, menyudahi pertentangan diantara mereka, memenangkan mereka yang didzalimi dari mereka yang mendzalimi, menegakkan hukum-hukum (Allah SWT) dan mencegah perbuatan-perbuatan keji, itu semua diantara perkara-perkara yang penting yang tidak bisa ditegakkan kecuali dengan adanya Imam/Khalîfah. Dan setiap apa yang kewajiban tidak sempurna tanpanya maka hukumnya adalah wajib”.[8]
Dengan nada yang lebih tegas lagi, Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah berkata:

« حاجة الناس إلى الشريعة ضرورية فوق حاجتهم إلى كل شيء »
"Kebutuhan manusia kepada Syari'at adalah (perkara) bersifat darurat/mendesak, melebihi kebutuhan mereka kepada segala sesuatu."[9]

Refleksi

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah SWT,

Penjelasan sebagaimana di atas, tidak akan pernah kita dapatkan dari para Orientalis Barat yang bisanya hanya mencari-cari celah atau kesalahan dari ajaran Islam yang sempurna ini. Kita hanya akan tahu tentang Islam dengan jelas dan benar sebagaimana adanya jika kita mencari penjelasan itu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta dari para ‘Ulamâ’ Islam terdahulu, bukan malah dari orang non-muslim, apalagi musuh-musuh Islam (termasuk yang menyamar atau bahkan yang mengaku sebagai muslim).

Khilâfah tidaklah untuk diperdebatkan tapi diperjuangkan, karena memperdebatkannya hanya akan membuang tenaga yang ujung-ujungnnya berakhir nanti jika Khilâfah benar-benar telah tegak berdiri (Bimasyî-atillâh). Yang jelas, tanpa keberadaannya, gelar umat Islam sebagai Khairu Ummah (umat terbaik) seperti yang digambarkan al-Qur’an tidaklah tampak nyata, jangkauan dakwah Islam menjadi sempit dan hanya bersifat parsial (tidak bisa mendunia), suara ‘Ulamâ’ atau Fuqahâ’ tidak lah lebih berharga dari suara Juhalâ’ (demikianlah konsekwensi sistem demokrasi), kedzaliman semakin merajalela, budaya riba semakin meradang, hak-hak rakyat (terutama fakir-miskin, anak-anak yatim, para janda, gelandangan) semakin dilupakan, harga nyawa seorang muslim tidak lah lebih mahal dari harga nyawa seekor nyamuk, kasus pembunuhan, perampokan, pencurian, perzinaan dan riba menjadi hal menyesakkan yang dianggap wajar, kekayaan negeri kita terus dikuasai swasta dan asing, pembodohan lewat kapitalisasi pendidikan terus berlangsung, ketergantungan kepada pihak asing dalam bidang politik dan ekonomi semakin nyata, harga kebutuhan pokok sehari-hari akan terus melambung (beginilah nasib negara Kapitalis-Objek), serta segudang lagi permasalahan lainnya.

Itu semua belum termasuk dosa akibat ditinggalkannya kewajiban-kewajiban yang hukumnya Fardhu Kifâyah, seperti hukum mengangkat Imâm/Khalîfah, Qadlâ’ (termasuk di dalamnya hudûd dan jinâyât) serta Jihâd, hingga detik ditulisnya artikel ini hukum-hukum tersebut belumlah terwujud, sehingga dalam kondisi seperti ini, antara hukum Fardlu Kifâyah dengan hukum Fardlu ‘Ain tidak ada bedanya.[10]

Bagi saudara-saudara kita yang menganggap bahwa Khilâfah sudah tidak relevan lagi diterapkan di masa sekarang, dan menganggap hukumnya sudah tidak wajib, maka ketahuilah bahwa dengan begitu secara tidak langsung mereka telah menganggap hukum Allah SWT sebagai hukum kuno yang hanya pantas diterapkan pada masa 14 abad yang silam, selain juga bahwa hukum di dalam Islam tidaklah berubah dengan perubahan masa, tempat dan kondisi, juga tidak berubah saat banyak orang yang meninggalkannya, sebagaimana kewajiban shalat lima waktu yang tidak akan berubah secara mutlak menjadi haram, sunnah, mubah atau makruh dimanapun dan kapanpun, bahkan meskipun kaum muslimin banyak yang meninggalkannya. Dia tetap sebagai kewajiban hingga hari kiamat tiba.

Bagi sudara-saudara kita yang menganggap bahwa Khilâfah tidak sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan, maka ketahuilah bahwa dengan begitu secara tidak langsung mereka telah menganggap Allah SWT bodoh (na’udzubillâh min dzâlik!), mengaggap Allah SWT tidak tahu bahwa Syarî’ah Islam ternyata tidak sesuai diterapkan di Indonesia, hal ini bertentangan dengan firmanNya menyeru seluruh manusia (tanpa terkecuali) untuk melaksanakan Islam secara sempurna[11]. Selain juga Allah SWT tidak mungkin berlaku Dzalim terhadap hambanya, mewajibkan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan.[12]


Bagi saudara-saudara kita yang begitu getol menolak dan menentang Khilâfah, mereka tidaklah memiliki Hujjah yang kuat kecuali hanya pendapat-pendapat lemah berdasarkan dugaan akal semata, mereka juga tidak memiliki imam yang dianut melainkan para ‘Ulamâ’ Suu’ yang muncul di akhir zaman, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, karena semua Ulama' yang “Lurus” telah menyatakan sepakat akan wajibnya Khilâfah. Disadari atau tidak, para penentang Syarî’ah dan Khilâfah sebenarnya telah menjadi antek-antek kaum kuffâr dalam menghambat kebangkitan umat Islam, karena selama ini itulah yang mereka usahakan, mencitraburukkan Islam, mengidentikkan Syarî’ah Islam dengan terorisme, kekejaman, pelanggaran HAM, dll. Menumbuhkan keraguan dalam diri umat Islam akan ajaran Islam sendiri.

Pertanyaan yang kemudian perlu kita renungkan dalam-dalam adalah, Sebenarnya siapakah yang dirugikan jika Khilâfah benar-benar tegak? Apa untungnya memusuhi atau menghambat perjuangan penegakan Syarî’ah dan Khilâfah? (kecuali bagi mereka yang memang diberi upah oleh pihak Kafir Barat untuk hal tersebut sebagaimana JIL), Dan terakhir, setelah tahu hal ini, apakah kita tetap akan tinggal diam dan acuh tak acuh terhadap perkara Khilâfah? Masihkan kita bisa bernafas lega tanpanya?, sedangkan kebutuhan kita kepada tegakknya Syari’at Islam lebih mendesak dari bernafas itu sendiri! Harapan, jika pun ada di antara kita yang merasa “alergi” terhadap partai, golongan atau kelompok tertentu yang “kebetulan” memperjuangkan Khilâfah ini, janganlah kemudian perasaan tersebut menjadikan mata kita buta dari kebenaran yang ada. Bahwasannya Khilâfah adalah wâjib ditegakkan. [Al Khilafah: Mutiara yang Terlalu Lama Terpendam, al-Watsiq bil-Haqq/Jikindra Blog]

=== Catatan Kaki ===
[1] Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ath-Thabarî, Sirah ath-Thabarî, juz 2 hal. 234
[2] Lihat Surat al-Baqarah (2): 178, al-Isra’ (17): 33
[3] Sunan an-Nasâ’î, Juz 12 hal. 338 Hadits No. 3922, lihat juga Sunan at-Tirmidzî, Juz 5 hal. 275 Hadits No. 1315, Sunan Ibnu Mâjah Juz 8 hal. 48 Hadits No. 2609
[4] Sirah Ibnu Hisyâm, Juz 6 hal. 8
[5] Shahih al-Bukhârî, Juz 21 hal. 47 Hadits No. 6289. Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW mencontohkan sikap seorang pemimpin negara Islam yang tegas tanpa ragu dan pandang bulu dalam menegakkan hokum Allah SWT.
[6] Lihat Imam Abu Hâmid al-Ghozâlî, al-Iqtishâd fil-I’tiqâd, Juz 1 hal. 75
[7] Imam Abu Hâmid al-Ghozâlî, al-Wasîth, Juz 7 hal. 287
[8] Imam Ibnu Katsîr, tafsir al-Qur’ân al-‘Adhîm, Juz 1 hal. 73
[9] Lihat Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Miftâhu Dâr as-Sa'âdah wa Mansyûru Wilâyati al-‘Ilmi wa al-Irâdah, juz 2 hal. 2. Pada penjelasan beliau lebih lanjut, kebutuhan manusia kepada Syari'at bahkan lebih mendesak dari pada kebutuhan mereka untuk bernafas, makan dan minum. Karena tanpa Syari'at, yang rusak bukan hanya badan tapi juga qalbu dan ruh.
[10] Syaifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûli al-Ahkâm, juz 1 hal 100, Lihat juga Asy-Syirazî, al-Luma’ fî Ushûli al-Fiqh, hal. 82
[11] Lihat Surat al-Baqarah (2): 208
[12] Lihat Surat al-Mu’min (40): 30

Speak Up Your Mind!
Tell us what you're thinking!

Terima kasih sudah berkomentar

About

Blog for Syariah and Khilafah. Berbagi catatan sederhana sebagai bentuk dukungan terhadap penjuangan penegakan Syariah dan Khilafah dan penolakan terhadap sistem kufur demokrasi.
Temukan Saya di Google+

Entri Baru