Nilai Syariah Lebih Penting daripada Formalitas Syariah?

Nilai Syariah Lebih Penting daripada Formalitas Syariah?
Antara Isi dan Kulit, Enak Mana?
Ada yang menyatakan bahwa menegakkan nilai-nilai syariah dalam kehidupan sehari-hari lebih penting daripada formalitasnya.

KOMENTAR:

Orang yang memiliki pemahaman seperti ini, biasanya dia tidak sadar bahwa dirinya sedang terjebak dalam filsafat-filsafat logika tentang substansi dan aksiden atau isi dan kulit. Ini adalah pemahaman filsafat logika yang kesimpulannya dibangun berdasarkan premis-premis.

Misalnya, dikatakan bahwa setiap benda (wujud) terdiri dari substansi dan aksiden atau setiap benda itu terdiri dari isi dan kulit. Syariah Islam adalah bagian dari wujud (yaitu Islam). Oleh karena itu kesimpulannya, syariah Islam mempunyai substansi dan aksiden. Atau dengan kata lain, syariah Islam itu mempunyai substansi (isi) dan simbol (kulitnya). Ini sama seperti yang dulu pernah dikatakan oleh Pak Amien Rais , “Mana yang lebih penting: politik gincu atau garam?” Maksudnya, jika gincu (lipstik) berarti syariah Islam itu hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa dirasakan. Tetapi jika politik garam, maka syariah Islam itu benar-benar akan bisa dirasakan, sekalipun formalitasnya tidak terlihat.

Contohnya begini: dikatakan oleh orang-orang bahwa keadilan adalah substansi dari syariah Islam. Sedangkan hukum-hukum seperti potong tangan, cambuk, dan sebagainya adalah kulitnya atau hanya sebatas simbol.

Pertanyaannya: darimana kita tahu bahwa “keadilan adalah substansi” sedangkan “hukum cambuk adalah simbol”? Apakah ada dasarnya dalam Islam tentang hal ini? Jawabannya: Jelas tidak ada. Islam tidak mengenal yang beginian, dan juga tidak memerintahkan untuk membagi syariah menjadi substansi dan simbol. Nggak ada tuh.

Jika memang tidak ada dasarnya dari Islam, lalu pemahaman seperti ini muncul darimana? Ya tentu itu adalah muncul dari logika atau mantiq. Atau istilah orang Jawa, othak athik gathuk. Maksudnya, dihubung-hubungnya dan (kebetulan seolah-olah) hasilnya nyambung.

Nah, karena pandangan semacam ini dibangun berdasarkan mantiq (logika), berarti pandangan ini memang tidak berangkat dari fakta (realitas) syariah Islam itu sendiri. Atau, bisa dikatakan bahwa pandangan soal substansi syariah dan simbol hanyalah berangkat dari asumsi-asumsi yang belum jelas kebenarannya. Jika memang belum jelas, lantas, untuk apa disimpulkan bahwa “ada substansi syariah dan simbol syariah”?

Kesimpulannya, pemahaman di atas (substansi syariah dan simbol) merupakan pemahaman yang berangkat dari asumsi-asumsi (khayalan-khayalan) yang tidak jelas sumber dan kebenarannya.

Baca juga: Demokrasi oh Demokrasi

Coba lihat sifat keadilan yang dinilai sebagai substansi syariah itu. Pertanyaannya: apakah setiap keadilan itu pasti sesuai syariah? Ya belum tentu. Orang kafir bisa saja bersikap adil. Tetapi apakah kita akan mengatakan bahwa orang kafir itu telah melaksanakan syariah Islam? Tidak ‘kan?

Atau, sifat “kesederhanaan pemimpin”. Islam mengajarkan agar setiap pemimpin (bahkan setiap orang) agar berperilaku sederhana. Pertanyaannya: apakah setiap pemimpin yang sederhana itu pasti dikatakan sesuai syariah Islam? Jawabannya, ya jelas belum tentu. Misalnya Jose Murjica, Presiden Uruguay yang dinilai sebagai presiden termiskin di dunia ini apakah bisa dikatakan dia telah sesuai syariah dan mendapatkan pahala? Padahal dia adalah orang kafir. Jadi, apakah dia sesuai syariah? Jelas tidak.

Jadi, keadilan dan kesederhanaan itu bukanlah syariah Islam itu sendiri. Melainkan hanya sifat yang melekat pada syariah. Artinya, jika syariah diterapkan, maka syariah akan mendidik orang untuk bisa adil dan sederhana.

Oleh karena itu, jika memang mau menerapkan syariah Islam, maka terapkanlah secara apa adanya, tidak usah dibagi-bagi, misalnya: substansinya saja atau kulitnya saja. Sikap seperti ini tidak benar. Bisa-bisa, orang tidak perlu bersedekap untuk salat, atau rukuk, atau sujud. Tetapi hanya cukup dengan berdoa saja, dan tidak perlu salat. Mengapa? Sebab, substansi dari salat adalah doa. Apakah demikian yang kita inginkan?


Selain itu, harus dipahami bahwa di dunia ini tidak ada satu peraturan yang hanya diterapkan substansinya saja. Misalnya sistem demokrasi. Seharusnya tidak perlu ada pemilu, kampanye, loby-loby politik, dan sebagainya. Sebab, semua itu hanyalah simbol dari sistem demokrasi. Kenyataannya semua itu tetap saja dilakukan.

Kemudian, jika mereka (orang yang berpendapat tentang substansi syariah dan simbol) benar-benar konsisten dengan substansi Islam, seharusnya mereka memahami betul hakikat dari konsekuensi Islam. Apa itu? Yaitu ketundukan dan kepasrahan total kepada Allah, dalam segala hal. Nah, ketaatan total inilah yang termanifestasi dengan menerapkan hukum-hukum-Nya.

Tapi sayang, orang-orang yang berpendapat di atas, kebanyakan dari mereka memang tidak konsisten. [Agus Trisa/Jikindra Blog]

Speak Up Your Mind!
Tell us what you're thinking!

Terima kasih sudah berkomentar

About

Blog for Syariah and Khilafah. Berbagi catatan sederhana sebagai bentuk dukungan terhadap penjuangan penegakan Syariah dan Khilafah dan penolakan terhadap sistem kufur demokrasi.
Temukan Saya di Google+

Entri Baru